Cerpen: Menjadi Tim Medis

NB: Cerpen eikeh jaman kapan tau deh yang jelas ini cerpen terinspirasi dari kejadian sebagai PMR waktu SMA. Heran yee muka dodol kayak eikeh masih bisa jadi PMR hahaha. Ssstt… di sinilah cinta pertama eikeh bermula halah. Makanya sengaja pake nama aseli abis bingung nentuin nama2 masing2 tokoh

Hawa panas begitu menyengat ketika sebuah truk yang mengangkut anak-anak SMA dengan balutan baju Pramuka tiba di Bumi Perkemahan Palutungan Kuningan, namun sejuknya hembusan angin masih jelas terasa. Tak lama mereka sibuk mendirikan tenda masing-masing.

“Oke, tendanya sudah selesai.” Hasyim menepuk kedua tangan, membersihkan debu yang menempel lalu ia memandang pada Mela dan Ita secara bergantian

“Terima kasih ya.” Ucap Ita.

“Siipp. Dah aku pergi dulu ya.. biasa masih ada panggilan tugas.” Pamit Hasyim.

“Eh mau kemana?” Mela bertanya dengan menunjukan eskpresi kecewa

“Aku mau ke tempat panitia, Mel. Abis beresin tenda panitia disuruh kumpul.

“Yahhh…” Mela mendesah pelan.

Seandainya Hasyim bukan panitia perkemahan ini, mungkin ia akan tetap di sini. Bergabung dengan tim medis yang hanya berjumlah tiga orang. Mela, Ita, dan Hasyim. Mela sedikit menyesali Hasyim juga ikut Pramuka selain PMR. Ujung-ujungnya jadi rangkap tugas gini.

Padahal sekarang adalah pengalaman Mela menjadi Tim Medis setelah dua minggu yang lalu ia diangkat menjadi sekretaris PMR. Sebenarnya tidak jadi soal jika tim medis yang diminta lebih dari tiga orang. Ia bisa memasukan anak cowok beberapa lagi ke dalam tim. Tapi ternyata yang diminta hanya tiga orang. Sempat terjadi perdebatan sengit antara panitia perkemahan dengan senior PMR dan perdebatan baru berhenti setelah Hasyim meyakinkan semuanya akan baik-baik saja dan ia siap membantu tim medis kalau nanti ada apa-apa di perkemahan.

Hasyim tersenyum kemudian seolah tahu cemas yang melanda pada Mela, “Semua akan baik-baik saja, Mel. Nikmatilah kemping ini seperti kamu sedang liburan.”

“Yeee enak ajah kemping liburan! Kalau aku bukan tim medis baru tuh bisa kayak gitu. Nanti kalau ada yang pingsan, gimana hayo. Siapa yang akan gotong kalau anak cowoknya cuma kamu doang, mana gak bawa tandu lagi. Terus kalau ada yang luka berdarah-darah. Aduhhh syim…. Kamu kan tahu aku takut dan geli sama darah!” Mela sadar imajinasinya sudah melantur kemana-mana akibat dari sifat dirinya yang mudah panik.

Dengan lembut Hasyim menggenggam kedua tangan sahabatnya itu. Matanya menatap Mela lekat-lekat. Tatapan mata itu memang selalu membuat Mela tenang namun saat ini ia malah gusar.

“Kamu ini lucu ya. Kalau ada yang pingsan, jelaslah panitia akan siap untuk membantu. Terus.. kalau ada yang luka berdarah, ehm..masa seorang PMR seperti kamu bisa takut sama darah. Buat apa coba kamu ikut PMR.”

Mela nyengir. Seharusnya ia memang tidak sepanik itu. Sebagai orang yang terlibat dalam tim medis bukankah ia harus siap secara mental, fisik, maupun teknik. Hasyim benar, kalau ia masih mudah panik seperti ini. Untuk apa jadi PMR. Malah bisa bikin malu.

“Jangan panik dan ngelantur yang aneh-aneh lagi ya.” Pinta Hasyim masih menggenggam kedua tangannya. Lalu keduanya saling menatap dan tersenyum beberapa lama. Mereka sudah tidak menyadari kehadiran Ita.

“Ehem… ehem… Sadar woii ini bukan tempat pacaran!!!!” Ita setengah berteriak dan tersenyum menggoda pada mereka.

Spontan Mela melepaskan tangannya dari genggaman Hasyim. Diliriknya sepintas Hasyim hanya tersenyum mendengar Ita.

“Yee siapa juga yang pacaran. Lagian sejak kapan aku jadian sama Hasyim. Sirik ajah dirimu!”

Melihat Mela sewot. Hasyim dan Ita malah terbahak, “Idiiihh enggak ada yang lucu tauk! Dah sono kamu pergi ajah ke tempat panitia.” Mela memutarbalikan bahu Hasyim lalu mendorongnya.

 * * *

Hari pertama kemping tidak ada kejadian apapun. Semua berjalan seperti biasanya. Beberapa anak mampir ke tenda tim medis hanya untuk meminta obat-obatan saja. Sepertinya memang benar kata Hasyim, tidak ada yang perlu dicemaskan. Sesekali ketika Mela sudah bosan berada di tenda. Ia jalan-jalan keliling Bumi Perkemahan. Menikmati pemandangan alam dan sejuknya udara pegunungan. Tenda tim medis memang selalu kedatangan para peserta kemping terutama panitia dan perwakilan ekskul. Kebanyakan dari mereka hanya tidur-tiduran bahkan ada yang numpang tidur. Maklumlah hanya tenda tim medis saja yang dilengkapi oleh matras. Maka dari itu, jika Mela sedang berkeliling dan tidak ada Ita, ia bisa menitipkan tenda pada anak-anak.

Namun tidak untuk hari kedua. Senja tiba mungkin sekitar pukul setrengah lima, Mela baru saja bermain air di curug. Tiba-tiba ada yang berteriak memanggilnya. Oki, perwakilan dari ekskul karate. Oki menghampiri Mela di pinggiran curug.

“Ada peserta yang baru saja kepeleset dan kebentur batu terus kakinya terkilir. Tadinya mau minta tolong Ita, cuma dia katanya lagi beli obat-obatan yang persediaannya sudah mulai habis.”

“Terus Hasyim?” Tanya Mela sembari berjalan cepat menuju tenda tim medis.

“Hasyim katanya lagi jaga di pos dua dan itu jauh dari sini, Mel.” Terang Oki lagi sambil mengikuti langkah Mela.

Mendadak perasaannya tidak menentu. Anatara tidak yakin bahwa dia mampu menolong karena ia sangat geli dan takut pada darah juga tuntutan hati nuraninya atas dasar kemanusiaan. Ia harus menlong peserta itu kalau tidak, siapa yang akan menonolongnya. Di mana tanggung jawab dia sebagai tim medis kalau gitu. Langkah Mela terhenti tepat di depan tenda tim medis dan ia agak ngeri ketika melihat kondisi peserta yang terluka itu. Saking ngerinya ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

‘Kenapa, Mel?” Tanya Oki, ada guratan cemas pada wajahnya.

Buru-buru Mela menghilangkan rasa ngeri dan takut. Semua itu harus ia hilangkan kalau tidak, apa gunanya ia sebagai tim medis di sini.

“Ah.. enggak. Sepertinya memang harus segera ditolong.”

Mela langsung masuk ke tenda itu dan segera mengambil semua peralatan P3K lalu ia meminta semua orang yang ada di tenda tersebut untuk keluar agar sirkulasi udara di dalam tenda lancar dan peserta yang luka tidak merasa risih. Setelah semua pada keluar dan hanya tinggal dirinya, Oki, dan si peserta yang luka. Pelan-pelan ia meluruskan kedua kaki si peserta.

“Sebentar ya… Namanya siapa?” Tanya Mela ramah.

“Adi.” Jawabnya singkat sambil meringis kesakitan.

Namun ia mendadak merasa mual ketika akan membersihkan darah pada salah satu luka Adi di bagian kening. Berusaha sekuat tenaga Mela menahan rasa mualnya, apapun itu luka Adi harus segera diobati. Pelan-pelan ia membersihkan semua darah yang keluar. Mela merasa mukanya panas, melawan segala ketakutan akan darah. Kali ini mukanya benar-benar merah. Ia pasti sanggup! Tak beberapa lama darah sudah mulai bersih dan sudah tidak mengalir lagi.

“Tolong ambilkan betadine dan beberapa perban, Ki.” Pinta Mela pada Oki.

Lima menit kemudian semua luka sudah selesai di balut. Namun Adi masih meringis kesakitan karena kakinya terkilir. Untuk masalah kaki terkilir jujur, Mela tidak bisa. Ia tidak punya ilmu apapun soal teknik memijat atau mengurut.

“Oki bisa minta tolong panggil Hasyim ke sini, enggak? Cuma dia yang bisa mengatasi kaki Adi yang terkilir.” Pinta Mela.

“Aku sudah di sini kok, Mel.” Hasyim tiba-tiba sudah ada di depan tenda dalam posisi jongkok. Mela mendesah lega.

“Sudah kubilang kamu pasti bisa mengatasinya bukan?” Bisik Hasyim lalu ia sibuk menyembuhkan kaki Adi.

* * *

Angin malam begitu menusuk, menembus sendi-sendi tubuh hingga rasa hangat terasa mahal saat ini. Mela sedang duduk di pos panitia bersama beberapa anak-anak dan Ita. Ia semakin merapatkan sweaternya bahkan teh manis hangat pun tak bisa membantunya untuk melenyapkan rasa dingin. Diam-diam ia bersyukur malam ini adalah malam terakhir acara kemping. Ia membuang pandangannya ke tengah lapangan. Diperhatikannya Hasyim yang tengah sibuk mempersiapkan api unggun dengan sebagian panitia. Sementara panitia lainnya ada yang sibuk dengan acara jurit malam.

Acara jurit malam boleh jadi sebagai acara paling disukai panitia, karena dalam acara ini panitia bebas mengerjai para peserta satu per satu atas nama uji mental. Hanya saja pemandangan seperti itu buat Mela tidak terlalu menarik. Ia lebih suka memperhatikan Hasyim. Entah apa yang terjadi pada hatinya, selama ini Hasyim selalu membuatnya merasa nyaman, merasa tentram, apalagi kala Hasyim tersenyum padanya. Dunia seolah indah dengan aroma wewangian surgawi. Mungkin Ita benar, bahwa ia memang menyukai Hasyim tapi menurutnya, saat ini tidak ada yang lebih indah dari sebuah persahabatan.

“PMR… PMR!!!” Sebuah teriakan saling bersahut itu berasal dari tenda. Lamunan Mela buyar dan refleks Mela dan Ita berdiri dari tempat duduk. Mereka saling pandang penuh tanda tanya dan langsung berlari ke tenda tim medis yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat duduk.

Sampai di tenda, ternyata ada peserta yang pingsan. Segera Ita menanganinya sementara Mela sibuk membantu Ita setelah peserta sadar. Ternyata peserta yang pingsan ada lagi dan itu terus-terusan bahkan sampai ada beberapa yang kesurupan. Mela dan Ita kewalahan menghadapinya, tenda tim medis pun tak cukup menampung, beberapa ada yang diungsikan ke tenda panitia dan peserta. Untung saja panitia bisa diajak kerja sama. Sampai acara api unggun tiba, Mela masih tetap menangani peserta yang pingsan. Padahal ia ingin sekali mengikuti acara itu. Ia hanya bisa menatap acara itu dari dalam tenda.

Mela sama sekali tidak tahu mengapa begitu banyaknya peserta yang pingsan. Mungkin karena udara terlalu dingin dan beberapa peserta yang pingsan itu ternyata belum makan. Padahal sebelum acara jurit malam, peserta diwajibkan makan.

Perlahan Mela meminumkan teh hangat pada salah satu peserta yang sudah sadar. Setelah menaruh gelas di sisi kirinya. Ia mendesah pelan, melepas semua rasa lelahnya walau sedikit. Dalam hati ia berharap seandainya ada beberapa anak PMR menyusul ke sini, mungkin tugas ini tidak begitu berat baginya.

“Mela..” Ada suara yang memanggilnya dari luar tenda. Refleks ia melemparkan pandangan ke luar tenda. Ia melihat Dimas melongokan kepalanya.

“Dimas!” Seru Mela sembari bangun dan keluar dari tenda. Ternyata di luar tenda tak hanya Dimas saja yang datang. Tetapi ada beberapa anak PMR dan beberapa senior yang menyusul ke sini.

“Kenapa kalian baru menyusul sekarang. huaaa tega… tega…” Gerutu Mela.

“Sori, Mel sebenarnya kita mau datang tadi siang cuma ya.. hujan. Jadi kita datangnya sekarang hehehe.” Dimas memberitahu.

Ada rasa lega terselip di hati Mela. Tak apa mereka datang terlambat yang penting mereka sudah datang. Mela tersenyum nakal dan tanpa permisi langsung meninggalkan mereka.

“Mel. Woii mau kemana? Pasiennya jangan ditinggal dong!!” Teriak salah satu dari mereka.

Mela menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya,

“Aku mau ke tempat Hasyim dulu. Pasiennya biar kalian saja yang urus. Gantian!!! Hahaha”  Kemudian sambil tersenyum puas Mela pergi tanpa mempedulikan protes dari mereka.

Cirebon, 17 Februari 2009

3 thoughts on “Cerpen: Menjadi Tim Medis

Leave a comment